Beberapa waktu terakhir muncul kabar di
media bahwa Gubernur DKI Jakarta mengaku pusing dan tidak setuju dengan
substansi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi Mobil Murah
dan Ramah Lingkungan karena dikhawatirkan akan semakin meningkatkan kemacetan
di jalanan ibukota negara. Menteri Perindustrian kemudian mengatakan bahwa
Gubernur DKI tidak perlu berlebihan karena peraturan tersebut tidak hanya
berlaku untuk DKI Jakarta saja dan memperoleh mobil murah adalah hak dari para
konstituen. Gubernur DKI kemudian mengatakan bahwa kebijakan sudah dibuat oleh
pemerintah pusat dan yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah
menaikkan pajak atau mengenakan electronic
road pricing.
Cerita tersebut bisa jadi ditafsirkan
bermacam-macam oleh pembaca. Pembaca yang awam dengan sistem pemerintahan
daerah mungkin akan berpikir “Kenapa Gubernur DKI tidak menolak saja PP
tersebut?”, sementara yang telah memahami sistem pemerintahan mungkin dapat
langsung berkomentar dengan alternatif solusi kebijakan yang tepat untuk DKI
Jakarta.
Terkait hal tersebut, saya menulis artikel
ini untuk memberikan gambaran dasar tentang sistem pemerintahan daerah.
Sebagian besar materi yang saya tuliskan dalam artikel ini berasal dari buku
“Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru
hingga Era Reformasi”.[i]
Setiap referensi yang berasal dari buku tersebut tidak akan saya tuliskan dalam
catatan akhir, namun tertulis halamannya saja dalam badan artikel ini. Oleh
karena istilah-istilah yang digunakan dalam artikel ini seringkali berupa
frase, mungkin pembaca akan membutuhkan pengulangan atau kehati-hatian dalam
membaca kalimat-kalimat yang saya tuliskan.
Saya perlu menulis tentang pemerintahan daerah
karena di sanalah terdapat pembagian arena kekuasaan sebuah negara. Dari
pembagian arena kekuasaan itulah rakyat kemudian tidak lagi berinteraksi dengan
satu jenis pemerintah, tetapi dengan tingkatan-tingkatan pemerintah yang
mungkin secara kasat mata tidak berhubungan satu dengan lainnya. Memahami pemerintahan
daerah menjadi penting karena sebagian besar pelayanan publik (sebagai salah
satu arena kekuasaan) yang mempertemukan pemerintah dengan warga negara berada
pada yurisdiksi pemerintah daerah, seperti pelayanan kependudukan, pendidikan,
kesehatan, kebersihan, dan sebagian besar infrastruktur jalan. Ketidakpahaman
atas sistem pemerintahan daerah akan mengakibatkan kesalahan dalam
menginterpretasi kebijakan publik yang dilahirkan oleh suatu tingkat
pemerintahan, karena setiap tingkat pemerintahan dapat memiliki tujuan prioritas
yang berbeda-beda.
Sebagian besar pembaca tentu telah
mengetahui bahwa secara umum terdapat dua bentuk negara di seluruh dunia, yaitu
negara kesatuan dan negara federal (serikat). Perancis, Republik Rakyat
Tiongkok, Inggris, Jepang, dan Indonesia adalah contoh negara kesatuan
sementara Amerika Serikat, Jerman, Australia, India, dan Rusia adalah contoh
negara federal.
Secara mendasar, pembeda antara negara
kesatuan dan negara federal adalah pada asal mula (origin) kedaulatan sebuah negara. Pada negara kesatuan, kedaulatan
terletak pada negara (pemerintah pusat). Sementara itu, pada negara federal,
kedaulatan berasal dari negara-negara bagian yang kemudian bersepakat untuk
berserikat dan memiliki suatu pemerintahan negara federal. Oleh karena itu, dalam
negara kesatuan, kekuatan untuk membuat konstitusi (pouvoir constituant) hanya dimiliki oleh pemerintah pusat,
sementara pada negara federal, pemerintah negara bagian dapat memiliki
konstitusinya sendiri, selama tidak bertentangan dengan kesepakatan yang telah
dibentuk dengan negara-negara bagian lainnya. Konsekuensi dari pouvoir constituant tersebut adalah pada
negara kesatuan atau negara bagian (dari sebuah negara federal), dapat dibentuk
pemerintah-pemerintah daerah yang memiliki otonomi (kekuasaan). Kekuasaan ini
berasal dari pemerintah negara kesatuan atau pemerintah negara bagian dan dapat
ditarik lagi oleh mereka dengan undang-undang tanpa dibutuhkan persetujuan dari
pemerintah daerah otonom. Hubungan antara negara bagian dengan pemerintah
federalnya bersifat koordinatif dan independen, sementara hubungan antara
daerah otonom dengan pemerintah pusat dalam negara kesatuan dan hubungan antara daerah otonom dengan
pemerintah negara bagian dalam negara federal bersifat subordinatif dan
dependen (pp. 98-99)
Berangkat dari perbedaan tersebut, maka
yang dimaksud sistem pemerintahan daerah dalam artikel ini adalah sistem
pemerintahan daerah yang terdapat pada negara kesatuan atau pada negara bagian
dalam negara federal. Pada tingkat tersebut, pemerintahan daerah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang diberikan kekuasaan oleh pemerintah pusat atau
pemerintah negara bagian, dan oleh karena kekuasaan tersebut merupakan pancaran
dari pemerintah (eksekutif), maka sejatinya tidak ada kekuasaan legislatif pada
pemerintah daerah. Ini akan dibicarakan kemudian.
Kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah
daerah berasal dari proses yang disebut desentralisasi. Secara umum, terdapat
tiga bentuk desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.[ii]
Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan (yang pada umumnya diiringi dengan
finansial) dari pemerintah pusat/negara bagian kepada perwakilan dari
pemerintah pusat/negara bagian di daerah-daerah otonom. Ini adalah bentuk
terlemah dari desentralisasi, karena pada dasarnya hanya mendistribusikan
kewenangan kepada pihak yang sejatinya adalah bagian integral dari yang
mendistribusikan. Dari dekonsentrasi, lahirlah wilayah-wilayah administrasi.
Oleh karena itu, Hoessein menyebut dekonsentrasi sebagai pelembutan (ameliorasi)
dari sentralisasi. Sementara itu, Treisman menyebut ini sebagai desentralisasi
administrasi.[iii]
Sementara itu, Delegasi adalah penyerahan
kekuasaan dari pemerintah pusat/negara bagian kepada organisasi semi-otonom
yang bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemberi delegasi. Biasanya yang
diberikan delegasi adalah BUMN atau lembaga khusus yang dibentuk oleh
pemerintah pusat/negara bagian. Pada delegasi, pihak yang diserahkan kekuasaan
memiliki diskresi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan. Kekuasaan
ini sedikit lebih lemah dari yang diserahkan lewat devolusi, yaitu penyerahan
kekuasaan dari pemerintah pusat/negara bagian kepada pemerintah daerah.
Devolusi merupakan bentuk paling ideal dari desentralisasi, sehingga Hoessein
menyebutkan bahwa devolusi sejatinya adalah desentralisasi itu sendiri.
Devolusi atau desentralisasi inilah yang melahirkan daerah otonom, oleh
karenanya Treisman menyebutnya sebagai desentralisasi politik. Namun demikian, perlu
diingat kembali bahwa proses ini sejatinya adalah pemberian oleh pemerintah
pusat/negara bagian selaku pemegang kedaulatan rakyat, sehingga pemerintah
pusat/negara bagian dapat menarik kembali kekuasaan (resentralisasi) apabila
diperlukan.
Pelaksanaan desentralisasi sendiri dapat
dibedakan menjadi dua model, yaitu fused
model dan split model. Model
pertama mengilustrasikan bahwa wilayah daerah otonom selalu berimpit dengan
wilayah administrasi. Dalam model ini tidaklah mungkin terjadi pembentukan
daerah otonom tanpa disertai atau didahului pembentukan wilayah administrasi,
tetapi sebaliknya dapat terjadi pembentukan wilayah administrasi tanpa daerah
otonom (p. 60). Model kedua menggambarkan situasi yang berkebalikan, yaitu
dimungkinkannya pembentukan daerah otonom tanpa berimpit dengan wilayah
administrasi.
Sistem pemerintahan daerah Indonesia sangat
dipengaruhi oleh semangat etatism
(kekuatan negara) dari rezim Napoleon Bonaparte (Perancis) yang pernah menjajah
Belanda. Oleh karena itu, fused model
yang merupakan gambaran kekuatan negara atas seluruh wilayahnya menjadi model
yang dianut bahkan hingga saat ini. Hal ini terlihat dari kedudukan gubernur
yang selain sebagai kepala daerah otonom (Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 24 UU Nomor
32 Tahun 2004) juga merupakan wakil
pemerintah pusat di daerah (Pasal 37 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 19
Tahun 2010 jo PP Nomor 23 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah
Provinsi). Saat ini, hanya provinsi yang memiliki kedudukan sebagai wakil
pemerintah pusat, sementara kabupaten dan kota hanya menjalankan pemerintahan
daerah yang otonom. Pada masa Orde Baru (melalui UU Nomor 5 Tahun 1974),
berimpitnya wilayah administrasi dan daerah otonom juga terjadi hingga
kabupaten/kota. Oleh karena itu, pada masa itu dikenal penyebutan
provinsi/daerah tingkat I atau kabupaten/daerah tingkat II. Penyebutan provinsi
dan kabupaten menggambarkan daerah otonom sementara penyebutan daerah tingkat
I/II menggambarkan wilayah administrasi pemerintah pusat. Tanda garis miring “/”
menggambarkan keduanya tidak dapat dipisahkan.
Model ini dikenal juga sebagai integrated prefectoral system (sistem
prefektur terintegrasi) yang masih dapat dilihat pada sistem pemerintahan
daerah di Perancis hingga saat ini. Di Indonesia, sistem ini mulai berjalan
pada masa Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels. Latar belakang dibentuknya
sistem ini adalah adanya pandangan Napoleon bahwa desentralisasi berpotensi
mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Diberikannya otonomi kepada provinsi
adalah untuk melemahkan otonomi kabupaten (yang pada masa lalu biasanya
dipimpin oleh pribumi priyayi) dari
tingkatan yang lebih tinggi (vertikal). Sementara itu, otonomi kepada kota (staadsgemeente; biasanya dipimpin oleh
keturunan Eropa) adalah untuk melemahkan otonomi kabupaten secara
lateral/horizontal. Dipertahankannya model ini oleh pemerintahan saat ini
adalah untuk tujuan yang sama, yaitu mengimbangi kekuasaan yang dipegang oleh
pemerintah kabupaten/kota. Indonesia selalu menganut sistem ini, kecuali pada
masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan demokrasi parlementer
(1950-1959) yang berusaha menerapkan unintegrated
prefectoral system, baik melalui pembentukan negara federal maupun prinsip
federalisme melalui UU Nomor 1 Tahun 1957. Akan tetapi, sistem ini dianggap
gagal karena mengalami tekanan kuat secara politik dan ekonomi.[iv]
Sistem prefektur terintegrasi dapat
dilaksanakan melalui dua model utama, yaitu inclusive-authority
model dan overlapping authority model.
Model kewenangan inklusif menggambarkan hubungan yang subordinatif antara
daerah tingkat II, daerah tingkat I, dan pemerintah pusat (dengan kondisi daerah
tingkat II atau I dapat diberikan atau tidak diberikan otonomi). Hal ini
sebagaimana terlihat pada gambar di bawah. Dengan kondisi demikian, tidak saja
daerah tingkat II memiliki kewenangan yang lebih kecil (digambarkan oleh
kecilnya lingkaran) tetapi juga bergantung pada daerah tingkat I (digambarkan
oleh kedudukan lingkaran).
Sementara itu, overlapping authority model, sebagaimana tergambar di bawah ini,
merupakan model yang umum digunakan pada negara federal, dengan kedudukan
pemerintah pusat dan negara bagian yang independen. Fungsi yang dijalankan
masing-masing pemerintah dalam model ini juga bersifat eksklusif (kecuali
beberapa fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam negara bagian).
Terkait fungsi dan kewenangan tersebut,
penyerahannya dapat dilakukan melalui rincian kewenangan (ultra vires doctrine) atau dengan rumusan umum (open-end arrangement). Baik dalam UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan pemerintah pusat
dibagi melalui ultra vires doctrine,
karena kewenangan tersebut telah terinci, yaitu politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama. Hal yang sama
terjadi juga pada fungsi dan kewenangan pemerintah provinsi. Akan tetapi,
terjadi pergeseran pada penyerahan urusan pada pemerintah kabupaten/kota. Dalam
UU Nomor 22 Tahun 1999 dianut model open-end
arrangement karena tidak adanya rincian khusus, namun dalam UU Nomor 32
Tahun 2004 dianut ultra vires doctrine
karena hal tersebut diatur dalam Pasal 14. Lebih lanjut, pembagian kewenangan
ini juga diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Apabila kita pelajari kedua
peraturan perundang-undangan ini, maka dapat dipahami bagaimana Gubernur DKI
Jakarta mengaku pusing dengan kebijakan yang diambil pemerintah pusat terkait
dengan mobil murah.
Provinsi DKI Jakarta sebenarnya memiliki
keunikan, karena tidak adanya daerah otonom di bawah provinsi sebagaimana provinsi
lainnya (saya tidak akan bicarakan soal keunikan tersebut secara khusus dalam
artikel ini). Akan tetapi, kondisi ini bukan berarti Indonesia menganut
desentralisasi asimetris. Hal ini dapat dilihat dari karakter umum yang
terdapat dalam pemerintahan daerah di Indonesia atau melalui kutipan Katoroba
berikut (p.180).
In the design of decentralization, a distinction is made between the symmetrical and the asymmetrical. In symmetrical decentralization an attempt is made to mirror and reproduce national governance institutions at the sub national level as if the lower unit were a microcosm of the national government. The sub national elected body is conceived of as the equivalent of parliament at the national level, the chief administrative officers equated to the head of the national public service. And the sub national court is the equivalent of the national supreme court. The three organs of the sub national government are then expected to follow the rules of separation of powers and the mechanism of checks and balances. It is then assumed that these organs at the sub national level should operate without control and interference from the central government. Under this model of symmetrical decentralization provisions may be made to leave policy making and monitoring with the central government and transfer operations to the sub national government.
Kecenderungan pemerintah menerapkan
desentralisasi simetris dapat terlihat dari permasalahan yang dihadapi oleh
pemerintah daerah saat ini. Banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan diharuskannya
mereka membentuk organisasi pemerintah daerah (OPD) dengan nama yang sesuai
dengan permintaan organisasi sejenis di tingkat pusat (baik itu kementerian,
lembaga pemerintah non kementerian, maupun lembaga non-struktural), dengan
dibumbui keterangan bahwa organisasi pemerintah pusat ini tidak dapat
memberikan dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan apabila tidak ada organisasi
sejenis di daerah. Kondisi ini setidaknya menimbulkan pertanyaan, apa yang
sebenarnya menjadi tujuan desentralisasi? Bukankah desentralisasi dilakukan
untuk mengakomodasi perbedaan karakteristik daerah-daerah yang ada?
Penyeragaman organisasi seperti itu justru memperlihatkan tujuan yang berbeda
dari desentralisasi.
Pada umumnya, pemerintahan daerah memiliki
dua model tujuan utama, yaitu local
democracy dan structural efficiency.
Model demokrasi lokal menghargai perbedaan lokal dan keragaman sistem dengan
asumsi pemerintah daerah memiliki kapasitas dan legitimasi untuk merealisasikan
suara masyarakat lokal. Sementara itu, model efisiensi struktural mendorong
intervensi pemerintah pusat atas pemerintah daerah untuk menjamin efisiensi
dalam mekanisme pemerintahan. Model ini menekankan pada keseragaman dan
kepatuhan pemerintah daerah. Kedua model ini tidak dapat dipandang sebagai dua
sisi mata uang yang harus dipilih salah satunya, tetapi lebih kepada dua titik
ekstrem pendulum yang perlu ditemukan titik kesetimbangannya, terlebih bagi
negara kesatuan. Penitikberatan pada efisiensi struktural akan menegasikan
perbedaan dan aspirasi lokal, sebaliknya jika fokus utama adalah pada demokrasi
lokal, maka sangat mungkin proses yang dibutuhkan untuk menjalankan roda
pemerintahan menjadi lebih panjang dan mahal.
Sistem pemerintahan daerah pada masa Orde
Baru (melalui UU Nomor 5 Tahun 1974) merupakan contoh konkret penitikberatan
pada tujuan model efisiensi struktural, sementara pada masa UU Nomor 22 Tahun
1999 terlihat penekanan lebih kepada model demokrasi lokal. Sistem pemerintahan
daerah yang sekarang berjalan (melalui UU Nomor 32 Tahun 2004) mencoba mencari
titik temu antara kedua model tersebut, namun dapat dikatakan bahwa usaha
tersebut belum menemui hasil yang diharapkan. Biaya tinggi penyelenggaraan
pemerintahan tetap terjadi (sebagai dampak negatif model demokrasi lokal),
namun keberagaman karakteristik dan kebutuhan daerah masih belum terakomodasi
dengan baik (sebagai dampak negatif model efisiensi struktural).
Salah satu kelemahan terbesar dari sistem
yang berlaku saat ini adalah tingginya tumpang-tindih urusan yang terjadi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Meskipun hal ini sejatinya
telah diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, namun permasalahan masih terus
terjadi. Penyebab dari kelemahan ini adalah belum tepatnya ukuran dan pembagian
fungsi pada pemerintah pusat, ego sektoral instansi pusat untuk tetap memiliki
pengaruh besar di daerah, dan kurang pahamnya pemerintah daerah atas sistem pemerintahan
daerah yang berlaku di Indonesia. Upaya perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
saat ini sedang dilakukan pemerintah bersama DPR harus terus dikawal oleh
pembaca, karena perubahan ini akan memengaruhi arah pemerintahan akan bergerak,
yang pada akhirnya akan memengaruhi ke mana kedaulatan dan pajak yang
diserahkan rakyat kepada negara akan digunakan.
The Bush
Capital, 14 September 2013
[i] Hoessein, B 2011, Perubahan model, pola, dan bentuk
pemerintahan daerah: dari era Orde Baru hingga era reformasi, 2nd
edn, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta. Buku ini menjadi referensi
utama tulisan ini, selain karena saya turut serta dalam proses penyusunan buku
ini juga karena saya pikir belum ada buku yang menggambarkan dengan lengkap
latar belakang sejarah dan konseptual tentang sistem pemerintahan daerah di
Indonesia selain buku ini. Tulisan ini saya buat juga untuk menghormati
Profesor Bhenyamin Hoessein. Pengalaman membantu beliau menulis buku ini
merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya.
[ii] Rondinelli, DA, “What
is decentralization?”, in Litvack, J & Seddon, J (eds), Decentralization Briefing Notes, World
Bank Institute Working Papers, http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, viewed 14 September 2013.
[iii] Treisman, D 2007, The architecture of government: rethinking
political decentralization, Cambridge University Press, New York, pp.
22-24.
[iv] Sulistiyanto, P &
Erb, M 2005, “Introduction: entangled politics in post-Suharto Indonesia”, in
Erb, M, Sulistiyanto, P & Faucher, C 2005 (eds), Regionalism in post-Suharto Indonesia, Routledge, New York, pp.
4-5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar