Sabtu, 14 September 2013

Mengenal Sistem Pemerintahan Daerah

Beberapa waktu terakhir muncul kabar di media bahwa Gubernur DKI Jakarta mengaku pusing dan tidak setuju dengan substansi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan karena dikhawatirkan akan semakin meningkatkan kemacetan di jalanan ibukota negara. Menteri Perindustrian kemudian mengatakan bahwa Gubernur DKI tidak perlu berlebihan karena peraturan tersebut tidak hanya berlaku untuk DKI Jakarta saja dan memperoleh mobil murah adalah hak dari para konstituen. Gubernur DKI kemudian mengatakan bahwa kebijakan sudah dibuat oleh pemerintah pusat dan yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menaikkan pajak atau mengenakan electronic road pricing.

Cerita tersebut bisa jadi ditafsirkan bermacam-macam oleh pembaca. Pembaca yang awam dengan sistem pemerintahan daerah mungkin akan berpikir “Kenapa Gubernur DKI tidak menolak saja PP tersebut?”, sementara yang telah memahami sistem pemerintahan mungkin dapat langsung berkomentar dengan alternatif solusi kebijakan yang tepat untuk DKI Jakarta.

Terkait hal tersebut, saya menulis artikel ini untuk memberikan gambaran dasar tentang sistem pemerintahan daerah. Sebagian besar materi yang saya tuliskan dalam artikel ini berasal dari buku “Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: dari Era Orde Baru hingga Era Reformasi”.[i] Setiap referensi yang berasal dari buku tersebut tidak akan saya tuliskan dalam catatan akhir, namun tertulis halamannya saja dalam badan artikel ini. Oleh karena istilah-istilah yang digunakan dalam artikel ini seringkali berupa frase, mungkin pembaca akan membutuhkan pengulangan atau kehati-hatian dalam membaca kalimat-kalimat yang saya tuliskan.

Saya perlu menulis tentang pemerintahan daerah karena di sanalah terdapat pembagian arena kekuasaan sebuah negara. Dari pembagian arena kekuasaan itulah rakyat kemudian tidak lagi berinteraksi dengan satu jenis pemerintah, tetapi dengan tingkatan-tingkatan pemerintah yang mungkin secara kasat mata tidak berhubungan satu dengan lainnya. Memahami pemerintahan daerah menjadi penting karena sebagian besar pelayanan publik (sebagai salah satu arena kekuasaan) yang mempertemukan pemerintah dengan warga negara berada pada yurisdiksi pemerintah daerah, seperti pelayanan kependudukan, pendidikan, kesehatan, kebersihan, dan sebagian besar infrastruktur jalan. Ketidakpahaman atas sistem pemerintahan daerah akan mengakibatkan kesalahan dalam menginterpretasi kebijakan publik yang dilahirkan oleh suatu tingkat pemerintahan, karena setiap tingkat pemerintahan dapat memiliki tujuan prioritas yang berbeda-beda.

Sebagian besar pembaca tentu telah mengetahui bahwa secara umum terdapat dua bentuk negara di seluruh dunia, yaitu negara kesatuan dan negara federal (serikat). Perancis, Republik Rakyat Tiongkok, Inggris, Jepang, dan Indonesia adalah contoh negara kesatuan sementara Amerika Serikat, Jerman, Australia, India, dan Rusia adalah contoh negara federal.

Secara mendasar, pembeda antara negara kesatuan dan negara federal adalah pada asal mula (origin) kedaulatan sebuah negara. Pada negara kesatuan, kedaulatan terletak pada negara (pemerintah pusat). Sementara itu, pada negara federal, kedaulatan berasal dari negara-negara bagian yang kemudian bersepakat untuk berserikat dan memiliki suatu pemerintahan negara federal. Oleh karena itu, dalam negara kesatuan, kekuatan untuk membuat konstitusi (pouvoir constituant) hanya dimiliki oleh pemerintah pusat, sementara pada negara federal, pemerintah negara bagian dapat memiliki konstitusinya sendiri, selama tidak bertentangan dengan kesepakatan yang telah dibentuk dengan negara-negara bagian lainnya. Konsekuensi dari pouvoir constituant tersebut adalah pada negara kesatuan atau negara bagian (dari sebuah negara federal), dapat dibentuk pemerintah-pemerintah daerah yang memiliki otonomi (kekuasaan). Kekuasaan ini berasal dari pemerintah negara kesatuan atau pemerintah negara bagian dan dapat ditarik lagi oleh mereka dengan undang-undang tanpa dibutuhkan persetujuan dari pemerintah daerah otonom. Hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federalnya bersifat koordinatif dan independen, sementara hubungan antara daerah otonom dengan pemerintah pusat dalam negara kesatuan dan hubungan antara daerah otonom dengan pemerintah negara bagian dalam negara federal bersifat subordinatif dan dependen (pp. 98-99)

Berangkat dari perbedaan tersebut, maka yang dimaksud sistem pemerintahan daerah dalam artikel ini adalah sistem pemerintahan daerah yang terdapat pada negara kesatuan atau pada negara bagian dalam negara federal. Pada tingkat tersebut, pemerintahan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang diberikan kekuasaan oleh pemerintah pusat atau pemerintah negara bagian, dan oleh karena kekuasaan tersebut merupakan pancaran dari pemerintah (eksekutif), maka sejatinya tidak ada kekuasaan legislatif pada pemerintah daerah. Ini akan dibicarakan kemudian.

Kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah daerah berasal dari proses yang disebut desentralisasi. Secara umum, terdapat tiga bentuk desentralisasi, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi.[ii] Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan (yang pada umumnya diiringi dengan finansial) dari pemerintah pusat/negara bagian kepada perwakilan dari pemerintah pusat/negara bagian di daerah-daerah otonom. Ini adalah bentuk terlemah dari desentralisasi, karena pada dasarnya hanya mendistribusikan kewenangan kepada pihak yang sejatinya adalah bagian integral dari yang mendistribusikan. Dari dekonsentrasi, lahirlah wilayah-wilayah administrasi. Oleh karena itu, Hoessein menyebut dekonsentrasi sebagai pelembutan (ameliorasi) dari sentralisasi. Sementara itu, Treisman menyebut ini sebagai desentralisasi administrasi.[iii]

Sementara itu, Delegasi adalah penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat/negara bagian kepada organisasi semi-otonom yang bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemberi delegasi. Biasanya yang diberikan delegasi adalah BUMN atau lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah pusat/negara bagian. Pada delegasi, pihak yang diserahkan kekuasaan memiliki diskresi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan. Kekuasaan ini sedikit lebih lemah dari yang diserahkan lewat devolusi, yaitu penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat/negara bagian kepada pemerintah daerah. Devolusi merupakan bentuk paling ideal dari desentralisasi, sehingga Hoessein menyebutkan bahwa devolusi sejatinya adalah desentralisasi itu sendiri. Devolusi atau desentralisasi inilah yang melahirkan daerah otonom, oleh karenanya Treisman menyebutnya sebagai desentralisasi politik. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa proses ini sejatinya adalah pemberian oleh pemerintah pusat/negara bagian selaku pemegang kedaulatan rakyat, sehingga pemerintah pusat/negara bagian dapat menarik kembali kekuasaan (resentralisasi) apabila diperlukan.

Pelaksanaan desentralisasi sendiri dapat dibedakan menjadi dua model, yaitu fused model dan split model. Model pertama mengilustrasikan bahwa wilayah daerah otonom selalu berimpit dengan wilayah administrasi. Dalam model ini tidaklah mungkin terjadi pembentukan daerah otonom tanpa disertai atau didahului pembentukan wilayah administrasi, tetapi sebaliknya dapat terjadi pembentukan wilayah administrasi tanpa daerah otonom (p. 60). Model kedua menggambarkan situasi yang berkebalikan, yaitu dimungkinkannya pembentukan daerah otonom tanpa berimpit dengan wilayah administrasi.

Sistem pemerintahan daerah Indonesia sangat dipengaruhi oleh semangat etatism (kekuatan negara) dari rezim Napoleon Bonaparte (Perancis) yang pernah menjajah Belanda. Oleh karena itu, fused model yang merupakan gambaran kekuatan negara atas seluruh wilayahnya menjadi model yang dianut bahkan hingga saat ini. Hal ini terlihat dari kedudukan gubernur yang selain sebagai kepala daerah otonom (Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 24 UU Nomor 32 Tahun 2004)  juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah (Pasal 37 UU Nomor 32 Tahun 2004 dan PP Nomor 19 Tahun 2010 jo PP Nomor 23 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi). Saat ini, hanya provinsi yang memiliki kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat, sementara kabupaten dan kota hanya menjalankan pemerintahan daerah yang otonom. Pada masa Orde Baru (melalui UU Nomor 5 Tahun 1974), berimpitnya wilayah administrasi dan daerah otonom juga terjadi hingga kabupaten/kota. Oleh karena itu, pada masa itu dikenal penyebutan provinsi/daerah tingkat I atau kabupaten/daerah tingkat II. Penyebutan provinsi dan kabupaten menggambarkan daerah otonom sementara penyebutan daerah tingkat I/II menggambarkan wilayah administrasi pemerintah pusat. Tanda garis miring “/” menggambarkan keduanya tidak dapat dipisahkan.

Model ini dikenal juga sebagai integrated prefectoral system (sistem prefektur terintegrasi) yang masih dapat dilihat pada sistem pemerintahan daerah di Perancis hingga saat ini. Di Indonesia, sistem ini mulai berjalan pada masa Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels. Latar belakang dibentuknya sistem ini adalah adanya pandangan Napoleon bahwa desentralisasi berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Diberikannya otonomi kepada provinsi adalah untuk melemahkan otonomi kabupaten (yang pada masa lalu biasanya dipimpin oleh pribumi priyayi) dari tingkatan yang lebih tinggi (vertikal). Sementara itu, otonomi kepada kota (staadsgemeente; biasanya dipimpin oleh keturunan Eropa) adalah untuk melemahkan otonomi kabupaten secara lateral/horizontal. Dipertahankannya model ini oleh pemerintahan saat ini adalah untuk tujuan yang sama, yaitu mengimbangi kekuasaan yang dipegang oleh pemerintah kabupaten/kota. Indonesia selalu menganut sistem ini, kecuali pada masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan demokrasi parlementer (1950-1959) yang berusaha menerapkan unintegrated prefectoral system, baik melalui pembentukan negara federal maupun prinsip federalisme melalui UU Nomor 1 Tahun 1957. Akan tetapi, sistem ini dianggap gagal karena mengalami tekanan kuat secara politik dan ekonomi.[iv]

Sistem prefektur terintegrasi dapat dilaksanakan melalui dua model utama, yaitu inclusive-authority model dan overlapping authority model. Model kewenangan inklusif menggambarkan hubungan yang subordinatif antara daerah tingkat II, daerah tingkat I, dan pemerintah pusat (dengan kondisi daerah tingkat II atau I dapat diberikan atau tidak diberikan otonomi). Hal ini sebagaimana terlihat pada gambar di bawah. Dengan kondisi demikian, tidak saja daerah tingkat II memiliki kewenangan yang lebih kecil (digambarkan oleh kecilnya lingkaran) tetapi juga bergantung pada daerah tingkat I (digambarkan oleh kedudukan lingkaran).



Sementara itu, overlapping authority model, sebagaimana tergambar di bawah ini, merupakan model yang umum digunakan pada negara federal, dengan kedudukan pemerintah pusat dan negara bagian yang independen. Fungsi yang dijalankan masing-masing pemerintah dalam model ini juga bersifat eksklusif (kecuali beberapa fungsi dan kewenangan pemerintah daerah dalam negara bagian).




Terkait fungsi dan kewenangan tersebut, penyerahannya dapat dilakukan melalui rincian kewenangan (ultra vires doctrine) atau dengan rumusan umum (open-end arrangement). Baik dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan pemerintah pusat dibagi melalui ultra vires doctrine, karena kewenangan tersebut telah terinci, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama. Hal yang sama terjadi juga pada fungsi dan kewenangan pemerintah provinsi. Akan tetapi, terjadi pergeseran pada penyerahan urusan pada pemerintah kabupaten/kota. Dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dianut model open-end arrangement karena tidak adanya rincian khusus, namun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 dianut ultra vires doctrine karena hal tersebut diatur dalam Pasal 14. Lebih lanjut, pembagian kewenangan ini juga diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Apabila kita pelajari kedua peraturan perundang-undangan ini, maka dapat dipahami bagaimana Gubernur DKI Jakarta mengaku pusing dengan kebijakan yang diambil pemerintah pusat terkait dengan mobil murah.

Provinsi DKI Jakarta sebenarnya memiliki keunikan, karena tidak adanya daerah otonom di bawah provinsi sebagaimana provinsi lainnya (saya tidak akan bicarakan soal keunikan tersebut secara khusus dalam artikel ini). Akan tetapi, kondisi ini bukan berarti Indonesia menganut desentralisasi asimetris. Hal ini dapat dilihat dari karakter umum yang terdapat dalam pemerintahan daerah di Indonesia atau melalui kutipan Katoroba berikut (p.180).

In the design of decentralization, a distinction is made between the symmetrical and the asymmetrical. In symmetrical decentralization an attempt is made to mirror and reproduce national governance institutions at the sub national level as if the lower unit were a microcosm of the national government. The sub national elected body is conceived of as the equivalent of parliament at the national level, the chief administrative officers equated to the head of the national public service. And the sub national court is the equivalent of the national supreme court. The three organs of the sub national government are then expected to follow the rules of separation of powers and the mechanism of checks and balances. It is then assumed that these organs at the sub national level should operate without control and interference from the central government. Under this model of symmetrical decentralization provisions may be made to leave policy making and monitoring with the central government and transfer operations to the sub national government.

Kecenderungan pemerintah menerapkan desentralisasi simetris dapat terlihat dari permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah saat ini. Banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan diharuskannya mereka membentuk organisasi pemerintah daerah (OPD) dengan nama yang sesuai dengan permintaan organisasi sejenis di tingkat pusat (baik itu kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, maupun lembaga non-struktural), dengan dibumbui keterangan bahwa organisasi pemerintah pusat ini tidak dapat memberikan dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan apabila tidak ada organisasi sejenis di daerah. Kondisi ini setidaknya menimbulkan pertanyaan, apa yang sebenarnya menjadi tujuan desentralisasi? Bukankah desentralisasi dilakukan untuk mengakomodasi perbedaan karakteristik daerah-daerah yang ada? Penyeragaman organisasi seperti itu justru memperlihatkan tujuan yang berbeda dari desentralisasi.

Pada umumnya, pemerintahan daerah memiliki dua model tujuan utama, yaitu local democracy dan structural efficiency. Model demokrasi lokal menghargai perbedaan lokal dan keragaman sistem dengan asumsi pemerintah daerah memiliki kapasitas dan legitimasi untuk merealisasikan suara masyarakat lokal. Sementara itu, model efisiensi struktural mendorong intervensi pemerintah pusat atas pemerintah daerah untuk menjamin efisiensi dalam mekanisme pemerintahan. Model ini menekankan pada keseragaman dan kepatuhan pemerintah daerah. Kedua model ini tidak dapat dipandang sebagai dua sisi mata uang yang harus dipilih salah satunya, tetapi lebih kepada dua titik ekstrem pendulum yang perlu ditemukan titik kesetimbangannya, terlebih bagi negara kesatuan. Penitikberatan pada efisiensi struktural akan menegasikan perbedaan dan aspirasi lokal, sebaliknya jika fokus utama adalah pada demokrasi lokal, maka sangat mungkin proses yang dibutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan menjadi lebih panjang dan mahal.

Sistem pemerintahan daerah pada masa Orde Baru (melalui UU Nomor 5 Tahun 1974) merupakan contoh konkret penitikberatan pada tujuan model efisiensi struktural, sementara pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 terlihat penekanan lebih kepada model demokrasi lokal. Sistem pemerintahan daerah yang sekarang berjalan (melalui UU Nomor 32 Tahun 2004) mencoba mencari titik temu antara kedua model tersebut, namun dapat dikatakan bahwa usaha tersebut belum menemui hasil yang diharapkan. Biaya tinggi penyelenggaraan pemerintahan tetap terjadi (sebagai dampak negatif model demokrasi lokal), namun keberagaman karakteristik dan kebutuhan daerah masih belum terakomodasi dengan baik (sebagai dampak negatif model efisiensi struktural).

Salah satu kelemahan terbesar dari sistem yang berlaku saat ini adalah tingginya tumpang-tindih urusan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Meskipun hal ini sejatinya telah diatur dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, namun permasalahan masih terus terjadi. Penyebab dari kelemahan ini adalah belum tepatnya ukuran dan pembagian fungsi pada pemerintah pusat, ego sektoral instansi pusat untuk tetap memiliki pengaruh besar di daerah, dan kurang pahamnya pemerintah daerah atas sistem pemerintahan daerah yang berlaku di Indonesia. Upaya perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 yang saat ini sedang dilakukan pemerintah bersama DPR harus terus dikawal oleh pembaca, karena perubahan ini akan memengaruhi arah pemerintahan akan bergerak, yang pada akhirnya akan memengaruhi ke mana kedaulatan dan pajak yang diserahkan rakyat kepada negara akan digunakan.

The Bush Capital, 14 September 2013




[i] Hoessein, B 2011, Perubahan model, pola, dan bentuk pemerintahan daerah: dari era Orde Baru hingga era reformasi, 2nd edn, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Jakarta. Buku ini menjadi referensi utama tulisan ini, selain karena saya turut serta dalam proses penyusunan buku ini juga karena saya pikir belum ada buku yang menggambarkan dengan lengkap latar belakang sejarah dan konseptual tentang sistem pemerintahan daerah di Indonesia selain buku ini. Tulisan ini saya buat juga untuk menghormati Profesor Bhenyamin Hoessein. Pengalaman membantu beliau menulis buku ini merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya.
[ii] Rondinelli, DA, “What is decentralization?”, in Litvack, J & Seddon, J (eds), Decentralization Briefing Notes, World Bank Institute Working Papers, http://siteresources.worldbank.org/WBI/Resources/wbi37142.pdf, viewed 14 September 2013.
[iii] Treisman, D 2007, The architecture of government: rethinking political decentralization, Cambridge University Press, New York, pp. 22-24.
[iv] Sulistiyanto, P & Erb, M 2005, “Introduction: entangled politics in post-Suharto Indonesia”, in Erb, M, Sulistiyanto, P & Faucher, C 2005 (eds), Regionalism in post-Suharto Indonesia, Routledge, New York, pp. 4-5.

Tidak ada komentar: